Merupakan kompleks pekuburan Islam yang dibangun pertengahan abad XVI, taman
ini terletak di Kelurahan I Ilir. Terdapat 38 makam, diantaranya makam Ki
Gede Ing Suro yang merupakan cikal bakal Sultan Palembang. Menurut
sejarah, pada tahun 1552 Ki Gede Ing Suro mendirikan Kerajaan Palembang.
Kota Palembang hingga kini masih dipercayai masyarakat Melayu sebagai tanah
leluhurnya. Menurut kisah, di kota inilah hadir seorang tokoh yang menjadi
cikal bakal Raja Melayu pertama yaitu Parameswara yang turun dari Bukit
Siguntang. Pada saat yang bersamaan, Kerajaan Sriwijaya runtuh, maka
bermunculan kekuatan-kekuatan lokal seperti Panglima Bagus Kuning di hilir
Sungai Musi, Si Gentar Alam di daerah Perbukitan, Tuan Bosai dan Junjungan Kuat
di daerah hulu Sungai Komering, Panglima Gumay di sepanjang Bukit Barisan.
Kemudian Parameswara meninggalkan Palembang bersama Sang Nila Utama menuju
Tumasik. Tanah Tumasik diberi nama Singapura oleh Parameswara.
Pada saat pasukan Majapahit akan menyerang Singapura, Parameswara bersama
pengikutnya pindah ke Malaka, kemudian mendirikan Kerajaan Malaka. Beberapa
keturunannya membuka negeri baru di daerah Pattani dan Narathiwat (sekarang
wilayah Thailand bagian selatan). Hubungan dagang yang kuat dengan orang–orang
Gujarat dan Persia menyebabkan perekonomian Malaka berkembang pesat. Kemudian
Parameswara memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar
Syah.
Kota Palembang menjadi kota tak bertuan, tidak ada penguasa tunggal atas kota
dagang ini. Namun kegiatan perekonomian tetap berjalan. Perdagangan antarbangsa
berjalan dengan baik. Di kota ini pula bermukim para pembesar dan priyayi
pendukung utama Kesultanan Demak, penguasa baru tanah Jawa. Mereka menyingkir
dari Demak setelah kalah perang melawan Kerajaan Pajang pada tahun 1528.
Rombongan asal Demak ini dipimpin oleh Kiai Gedeng Suro atau Ki Gede Ing Suro.
Selain pembesar dan priyayi, turut serta pula pasukan yang dipimpin oleh Raden
Patah. Mereka memilih Palembang sebagai tempat yang aman. Selain karena Raden
Patah (bergelar Jimbun Abdurrahman Panembahan Palembang Sayyidina Panatagama)
adalah bangsawan Demak kelahiran Palembang. Beliau tumbuh sejak kecil di kota
ini bersama ibunya, Putri Campa.
Raden Patah, Ario Damar dan Pati Unus, adalah tokoh dibalik hancurnya Kerajaan
Majapahit. Mereka dikenal dari Ekspedisi Pamalayu. Raden Patah berhasil
membangun kembali Palembang setelah Kerajaan Sriwijaya secara perlahan mulai
melemah. Berselang kemudian, Majapahit mulai dilanda kekacauan, pemberontakan
dan pecahnya perang saudara. Ario Damar sendiri pada saat itu adalah seorang
Mangkubumi Kerajaan Sriwijaya. Beliau memeluk Islam sejak kedatangan Raden
Rahmat. Menjadi seorang muslim, Ario Damar mengganti namanya menjadi Ario Abdullah,
yang populer dengan sebutan Ario Dillah.
Kehadiran Ki Gede Ing Suro di kota Palembang, memicu kedatangan pemukim-pemukim
muslim baru dari Demak, Pajang dan Mataram. Mereka datang ke Palembang demi
menghindari konflik politik berkepanjangan di tanah Jawa. Jumlah pemukim muslim
di kota Palembang meningkat. Peluang ini dijadikan momentum untuk memperteguh
pengaruh Islam di Palembang menjadi sebuah kerajaan. Pemukim muslim mendirikan
masjid yang berdekatan dengan Keraton Kuto Gawang. Sejak saat itu, Islam tumbuh
pesat sebagai pedoman hidup pada hampir seluruh masyarakat Palembang.
Sebuah kerajaan Islam di Palembang akhirnya resmi berdiri pada tahun 1552
secara politik dari Kesultanan Demak. Adalah Ki Mas Hindi, disebut pula
Pangeran Ratu atau Pangeran Ario Kusuma Abdurrohim, yang memiliki nama lain,
Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam, sebagai Sultan pertama
kerajaan Islam di tanah Palembang. Beliau bergelar Sultan Jamaluddin Candi
Walang, atau Sultan Ratu Abdul Rahman. Kerajaan Islam ini diberi nama
Kesultanan Palembang Darussalam.
Sultan
Jamaluddin kemudian diganti oleh Sultan Mansyur. Beliau didampingi seorang
ulama besar, Tuan Faqih Jalaluddin. Setelah Sultan Mansyur, Kesultanan
Palembang dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin, yang dikenal pula sebagai
Sultan Lemah Abang. Kesultanan Palembang Palembang Darussalam menggabungkan
kebudayaan maritim peninggalan Sriwijaya dan budaya agraris Majapahit.
Palembang kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan yang paling besar di Semenanjung
Malaka.
Hadirnya Kesultanan Palembang Darussalam ini menjadi lembaran baru bagi kota
Palembang sejak keruntuhan Sriwijaya. Hukum Islam diterapkan dalam aturan
tatanegara dan ekonomi. Ki Gede Ing Suro merupakan tokoh utama dibalik berdirinya
Kesultanan Palembang Darussalam. Setelah wafat pada tahun 1587, beliau
dimakamkan di sebuah daerah yang kini berada di Kelurahan I Ilir, kota
Palembang. Setelah beliau dimakamkan, berturut-turut dimakamkan para pembesar
Demak lainnya dan keluarganya, hingga mencapai 38 makam. Kompleks pemakaman ini
kemudian dikenal sebagai Taman Purbakala Ki Gede Ing Suro.
Kompleks makam berupa bangunan fondasi yang terdiri dari tiga bangunan utama.
Bangunan pertama memiliki luas 54 meter persegi, dengan tinggi 1,2 meter.
Bangunan ini berdiri diatas dua lapik, lapik pertama berukuran 7 meter x 3,7
meter. Lapik kedua berukuran 16 meter x 11 meter. Diatasnya berdiri batur
dengan tangga masuk yang berada di sisi selatan. Pada dinding batur terdapat
panil berbentuk bujursangkar berpola hias geometris. Pada teras makam terdapat
dua nisan dari kayu persegi pipih. Bangunan kedua memiliki ukuran 8,45 meter x
5 meter dengan tinggi 90 sentimeter. Berdiri diatas satu lapik. Pola hias
tangga sama dengan bangunan pertama. Disini terdapat tiga makam, dua makam di
sisi utara, dan satu makam di sisi selatan. Jirat makam di sisi selatan
berbentuk persegi panjang. Nisan makam terbuat dari batu andesit, puncaknya
berbentuk kurawal dengan ujung meruncing.
Bangunan ketiga adalah yang terbesar, memiliki ukuran 8,75 meter x 9 meter.
Memiliki teras berukuran 12,5 meter x 11,5 meter. Hiasan bangunan utama berupa
ukiran bunga dan geometris. Pada teras hiasannya berupa sulur. Diatas bangunan
terdapat tiga nisan makam yang bentuknya sama dengan bangunan kedua.
0 komentar:
Posting Komentar