Menurut
kepercayaan masyarakat Sulawesi Tengah, Indonesia, khususnya yang
berada di sekitar pantai, ikan duyung merupakan penjelmaan seorang
perempuan cantik. Bagaimana seorang wanita cantik bisa menjelma menjadi
seekor ikan duyung? Jawabannya dapat Anda temukan dalam cerita Asal Mula Ikan Duyung berikut ini.
Alkisah, di sebuah kampung di daerah Sulawesi Tengah, Indonesia, hiduplah sepasang suami-istri bersama tiga orang anaknya. Dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Sang Ayah menanam sayur-sayuran dan umbi-umbian di ladang dan mencari ikan di laut. Setiap pagi, sebelum berangkat ke ladang, sang Ayah selalu sarapan bersama istri dan ketiga orang anaknya.
Pada
suatu pagi, sepasang suami-istri bersama ketiga orang anaknya sedang
sarapan bersama dengan lauk ikan. Saat itu persediaan lauk ikan cukup
banyak, sehingga mereka tidak mampu menghabiskan semua. Usai sarapan,
sang Ayah pun bersiap-siap berangkat ke kebun. Sebelum berangkat, ia
berpesan kepada istrinya.
“Istriku! Tolong simpan sisa ikannya untuk lauk makan siang nanti!”
“Baik, Bang,” jawab istrinya singkat.
Setelah
itu, berangkatlah sang Ayah ke Ladang. Istrinya pun segera menyimpan
sisa ikan itu di dalam lemari makan. Menjelang siang hari, anaknya yang
bungsu tiba-tiba menangis minta makan. Ia sangat kelaparan setelah
setengah harian bermain dengan kakak-kakaknya. Sang Ibu pun segera
memberinya sepiring nasi dan beberapa cuil daging ikan dari dalam
lemari. Si Bungsu makan dengan lahap sekali. Dalam beberapa menit saja,
lauk ikan yang diberikan oleh ibunya langsung ia habiskan. Si Bungsu pun
minta tambah lauk kepada ibunya.
“Ibu... aku ingin tambah lauk ikan lagi,” pinta si Bungsu sambil menangis merengek-rengek.
“Tapi sedikit saja ya, Anakku! Sisakan juga untuk makan siang Ayahmu nanti,” bujuk sang Ibu.
Bujukan
sang Ibu tidak membuat si Bungsu berhenti menangis. Bahkan, si Bungsu
menangis semakin menjadi-jadi sambil berguling-guling di tanah. Sang Ibu
tidak sampai hati melihat anaknya menangis. Ia pun memberikan semua
sisa ikan itu kepada si Bungsu. Setelah itu, barulah si Bungsu berhenti
menangis.
Menjelang
siang hari, sang Ayah pulang dari ladang. Ia sangat lapar dan meminta
istrinya untuk segera menghidangkan makanan untuknya. Dengan perasaan
cemas, istrinya pun segera menghidangkan makanan. Setelah hidangan
tersedia, sang Ayah melihat hidangan itu tidak lengkap.
“Bu, mana sisa ikan tadi pagi? Kenapa tidak kamu hidangkan?” tanya sang Ayah.
“Maaf, Bang! Tadi si Bungsu menangis minta makan dengan lauk ikan,” jawab istrinya.
“Kenapa kamu berikan semua kepadanya?” tanya sang Ayah dengan nada marah.
“Maaf,
Bang! Tadi aku hanya memberinya beberapa cuil daging ikan, tapi si
Bungsu terus menangis merengek-rengek dan berguling-guling di tanah
meminta ikan. Aku tidak tega melihatnya, Bang! Makanya aku berikan semua
sisa ikan itu kepadanya,” jawab istrinya.
Mendengar jawaban itu, sang Ayah semakin marah dan tidak mau menerima alasan apapun dari istrinya.
“Aku tidak mau tahu. Aku sudah berpesan kepadamu agar menyimpan sisa ikan itu untuk makan siang!” bentak sang Ayah.
Sang
Istri tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menangis dan meminta
maaf kepada suaminya karena merasa bersalah. Berkali-kali ia meminta
maaf kepada suaminya, namun sang Suami tetap tidak berhenti marah,
bahkan kemarahannya semakin menjadi-jadi. Sang istri yang tidak tahan
dimarahi terus meneteskan air mata.
“Aku tak sanggup lagi tinggal di rumah ini. Suamiku benar-benar tidak mau memaafkan aku lagi,” keluh sang Istri dalam hati.
Akhirnya,
sang Istri pun memutuskan pergi. Pada saat tengah malam, ketika suami
dan anak-anaknya sedang tertidur pulas, secara diam-diam ia meninggalkan
rumah dan pergi ke laut.
Pada
pagi harinya, sang Ayah dan ketiga anaknya bangun tidur. Seperti
biasanya, setiap pagi mereka berkumpul untuk sarapan bersama. Betapa
terkejutnya sang Ayah, karena hidangan untuk sarapan bersama belum
tersedia. Dengan perasaan kesal, ia pun berteriak-teriak memanggil
istrinya.
“Istriku... Istriku...! Kamu di mana?”
Berkali-kali
sang Ayah berteriak memanggil istrinya, namun tidak mendapatkan jawaban
sama sekali. Sang Ayah bersama ketiga anaknya pun segera mencari sang
Ibu di sekitar rumah. Mereka sudah mencari ke mana-mana, tetapi mereka
tidak juga menemukannya.
“Ayah! Apa yang harus kita lakukan? Si Bungsu menangis tidak kuat lagi menahan lapar?” tanya si Sulung kepada ayahnya.
“Carilah ibu kalian di laut!” seru sang Ayah.
“Kenapa harus ke laut, Ayah?” tanya lagi si Sulung.
“Barangkali ibu kalian sedang mencari ikan di laut. Bukankah si Bungsu kemarin menangis minta ikan?” imbuh sang Ayah.
Mendengar
perintah sang Ayah, si Sulung pun segera mengajak kedua orang adiknya
pergi ke laut untuk mencari ibu mereka. Sesampainya di laut, mereka
memanggil ibu mereka sambil bernyanyi:
Ibu pulanglah Ibu...
Ibu pulanglah Ibu...
Si Bungsu ingin menyusu...
Tidak
berapa lama kemudian, tiba-tiba ibu mereka muncul dari laut sambil
membawa beberapa ekor ikan, lalu segera menyusui si Bungsu. Seusai
menyusui, sang Ibu berpesan kepada anak-anaknya.
“Wahai, anak-anakku! Pulanglah ke rumah. Ayah kalian pasti sudah menungggu kalian.”
“Ayo Bu, kita pulang bersama-sama!” bujuk ketiga anak itu sambil menari-narik tangan sang Ibu.
“Kalian
pulanglah duluan! Ibu akan menyusul kalian. Bawalah ikan ini untuk
makan siang bersama Ayah kalian nanti. Ibu masih ingin mencari ikan lagi
untuk kalian,” ujar sang Ibu.
Ketiga
anak itu pun menuruti perintah sang Ibu. Mereka pulang sambil membawa
ikan hasil tangkapan Ibu mereka. sesampainya di rumah, mereka segera
melapor kepada sang Ayah.
“Ayah,
Benar. Ternyata Ibu sedang berada di laut mencari ikan. Ini hasil
tangkapannya,” kata si Sulung sambil menunjukkan ikan yang mereka bawa
kepada sang Ayah.
“Ke mana Ibu kalian? Kenapa dia tidak pulang bersama kalian?” tanya sang Ayah.
“Ibu masih ingin mencari ikan yang lebih lagi, Ayah!” jawab ketiga anak itu serentak.
“Kalau begitu, segeralah panggang ikan itu untuk makan siang kita nanti!” seru sang Ayah.
Ketiga
anak itu pun segera melaksanakan perintah sang Ayah. Tidak berapa
kemudian, ikan-ikan tersebut selesai mereka pangggang. Namun, sang Ibu
belum juga datang.
“Ayo kita makan dan habiskan ikan pangggang ini. Tidak usah menunggu Ibu kalian!” ajak sang Ayah.
“Tapi,
kasihan Ibu, Ayah! Kalau ikan pangggang ini kita habiskan, nanti Ibu
makan apa? Ibu pasti kelaparan sepulang dari laut nanti,” kata si
Sulung.
“Diam
kamu Sulung! Kamu tidak udah merasa kasihan kepada Ibumu. Bukankah dia
juga tidak kasihan kepada Ayah, karena telah memberikan semua sisa ikan
sarapan kemarin kepada si Bungsu,” bentak sang Ayah.
Mendengar
bentakan itu, si Sulung dan kedua adiknya pun tidak berani membantah
dan terpaksa mematuhi perintah sang Ayah. Dengan perasaan berat hati,
ketiga anak itu pun terpaksa ikut menghabiskan ikan panggang itu bersama
sang Ayah. Hingga mereka selesai makan siang, sang Ibu belum juga
datang. Hati ketiga anak itu pun mulai cemas kalau-kalau terjadi sesuatu
terhadap ibu mereka. Hati mereka semakin cemas saat hari menjelang
sore, karena ibu mereka tidak juga kunjung pulang. Mereka pun tidak
berani menyusul ibu mereka ke laut, karena hari sudah semakin gelap.
Keesokan
harinya, barulah ketiga anak itu kembali ke laut menemui ibu mereka.
Sesampainya di laut, mereka tidak melihat ibu mereka. Mereka pun
memanggil sang Ibu sambil bernyanyi:
Ibu pulanglah Ibu...
Ibu pulanglah Ibu...
Si Bungsu ingin menyusu...
Ibu pulanglah Ibu...
Si Bungsu ingin menyusu...
Setelah
tiga kali mereka bernyanyi, barulah ibu mereka baru muncul dari laut.
Betapa terkejutnya ketiga kakak beradik itu ketika melihat tubuh ibu
mereka dipenuhi dengan sisik ikan. Mereka sangat ketakutan dan tidak
percaya bahwa perempuan yang bersisik seperti ikan itu adalah ibu
mereka. Si Bungsu pun enggan untuk menyusu kepadanya.
“Mendekatlah kemari, anak-anakku! Aku ini ibu kalian!” bujuk sang Ibu.
“Tidak! Ibu kami tidak bersisik seperti ikan,” jawab ketiga anak itu serentak.
Setelah
berkata begitu, ketiga anak tersebut langsung pergi meninggalkan
perempuan bersisik itu. Mereka menyusuri pantai tanpa arah dan tujuan
yang jelas. Sementara sang Ibu yang telah menjelma menjadi ikan duyung
kembali ke laut.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Ikan Duyung
dari daerah Sulawesi Tengah, Indonesia. Cerita di atas tergolong
dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman
dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik
adalah akibat buruk dari sifat kasar langgar. Sifat ini ditunjukkan oleh
perilaku sang Suami yang telah bersikap kasar kepada istrinya. Sikap
kasar yang ditunjukkan sang Suami itu menyebabkan istrinya minggat dari
rumah. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu (Tenas Effendy, 1994/1995:
55):
0 komentar:
Posting Komentar