Ikan
patin adalah salah satu jenis ikan konsumsi yang hidup di air tawar.
Ikan jenis ini banyak dijumpai di sungai-sungai di daerah Kalimantan
Tengah, Indonesia. Bentuk ikan patin cukup unik. Badannya panjang dan
berwarna putih dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Selain itu, ikan
patin juga mengandung protein hewani yang cukup tinggi dan rasanya pun
gurih. Meski demikian, tidak semua masyarakat Kalimantan Tengah mau
memakannya. Mengapa demikian? Temukan jawabannya dalam cerita Asal-Usul Ikan Patin berikut ini.
Alkisah, di sebuah kampung di daerah Kalimantan Tengah, Indonesia, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin. Si Suami bernama Labih, sedangkan istrinya bernama Manyang. Walau hidup miskin, mereka senantiasa hidup rukun, damai dan bahagia. Keduanya saling menyayangi. Ke mana saja pergi, mereka selalu berdua dan saling membantu dalam setiap pekerjaan. Ketika Labih ke hutan mencari kayu atau mencari ikan di sungai, istrinya selalu menyertainya. Sudah hampir sepuluh tahun mereka menjalani hidup berdua tanpa kehadiran seorang anak. Mereka setiap hari berdoa kepada Tuhan agar dikaruniai seorang untuk mengisi hari-hari mereka. Namun, sebelum mendapatkan anak, Manyang meninggal dunia karena sakit. Maka tinggallah Labih seorang diri. Hidupnya pun semakin terasa sepi.
Labih
adalah seorang suami yang sabar. Ia sadar bahwa hidup di dunia ini
hanyalah sementara. Meski demikian, ia tetap tekun dan rajin bekerja.
Sejak ditinggal mati istrinya, ia tetap menjalani hidupnya seperti
biasanya. Setiap pulang dari hutan mencari kayu bakar, ia selalu
meluangkan waktunya mencari ikan di sungai untuk dijadikan lauk.
Begitulah kegiatan Labih setiap hari hingga ia menjadi seorang kakek.
Pada
suatu hari, Labih pergi memancing ikan di Sungai. Setelah memasang
kailnya, ia duduk sambil menunggu ikan memakan umpannya. Hari itu, ia
sangat berharap bisa mendapatkan ikan, karena persediaan lauk untuk
makan malam sudah habis. Dengan penuh harap, ia bersiul-siul sambil
memegang gagang kailnya. Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba gagang
kailnya bergetar. Ia pun segera menyentakkan dan menarik kailnya ke
tepi. Alangkah kecewanya kakek itu saat melihat benda yang menggantung
di ujung kailnya.
“Wah! Aku kira ikan besar, ternyata hanya ranting kayu,” gumam Labih seraya melepas ranting kayu itu dari mata kailnya.
Setelah
itu, Labih kembali memasang kailnya dengan umpan yang lebih besar
dengan harapan bisa mendapatkan ikan yang besar pula. Sudah berjam-jam
ia memancing, namun belum seekor ikan pun yang memakan umpannya. Namun,
hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk terus menunggu pancingnya.
Ia menyadari bahwa pekerjaan memancing membutuhkan kesabaran.
“Ah,
aku tidak boleh putus asa. Aku harus menunggu sampai mendapatkan ikan,”
gumam Labih seraya melemparkan kailnya ke tengah sungai.
Ternyata
benar, kesabaran Labih membuahkan hasil. Tidak berapa lama setelah ia
melemparkan kailnya, tiba-tiba seekor ikan besar melahap umpannya. Ikan
itu menarik kailnya ke sana kemari hendak melepaskan diri. Dengan sekuat
tenaga, ia pun segera menarik dan mengangkat kailnya ke tepi sungai.
Betapa gembiranya hati Labih saat melihat seekor ikan terkail di ujung
kailnya. Ia sangat takjub, karena selama bertahun-tahun memancing di
sungai itu baru kali ini ia memperoleh ikan sebesar itu. Setelah ia
amati secara seksama, ternyata ikan itu adalah ikan patin.
“Waaah, besar sekali ikan patin ini! Dagingnya pasti gurih dan lezat,” ucapnya dengan takjub.
Setelah
itu, Labih pun memutuskan untuk berhenti memancing, karena merasa ikan
itu sudah cukup untuk dimakan selama beberapa hari. Begitulah setiap
kali Labih memancing, ia tidak pernah mengambil ikan di sungai itu lebih
dari cukup. Sebab, ia menyadari bahwa besok atau lusa ia akan kembali
lagi memancing di sungai itu. Akhirnya, dengan perasaan gembira, Labih
membawa pulang ikan patin itu ke rumahnya lalu meletakkannya di dapur.
Kemudian ia segera mencari pisau hendak membelah ikan itu. Namun, pisau
yang biasa ia gunakan membelah ikan ternyata sudah tumpul. Ia pun segera
mengasah pisau itu di atas batu yang berada di samping rumahnya.
Alangkah
terkejutnya Labih setelah kembali ke dapurnya. Ia mendapati seorang
bayi perempuan mungil dan cantik. Wajah bayi itu tampak kemerah-merahan.
Bulu matanya lentik dan rambutnya sangat hitam dan ikal. Melihat bayi
itu, Labih menjadi bingung dan gugup ingin menyetuhnya, karena selama
hidupnya belum pernah mengurus bayi. Ia berusaha untuk menepis perasaan
gugup itu dan meyakinkan dirinya bahwa bayi itu adalah titipan Tuhan
yang diamanatkan kepadanya untuk dirawat yang harus ia syukuri.
Akhirnya, ia pun memutuskan untuk merawat bayi itu dan memberinya nama
Leniri.
Ketika
Labih hendak mengangkat dan menimang-menimangnya untuk dimandikan,
Leniri tersenyum. Labih pun membalasnya dengan senyuman kasih sayang.
Namun, ketika Labih memandikannya, Leniri tiba-tiba menangis dengan
keras.
“Oaaa... oaaa... oaaa...!”
Labih pun segera menghiburnya sambil mengusap-usap keningnya.
“Cup, cup, cup! Leniri anakku, diamlah!”
Leniri
pun terdiam dan kembali tersenyum. Usai memandikannya, Labih
menghangatkan tubuh Leniri dengan sehelai kain, lalu membuatkannya bubur
dan menyuapinya sesuap demi sesuap. Setelah Leniri kenyang, kakek itu
membuatkannya ayunan di tengah-tengah rumah. Perlahan-lahan, ia mengayun
Leniri sambil bersenandung.
“Leniri sayang, anakku seorang... Cepatlah besar menjadi gadis dambaan...”
Tak
berapa lama Leniri pun tertidur pulas dalam ayunan mendengar senandung
Labih. Sejak itu, Labih merawat dan membesarkan Leniri dengan penuh
kasih sayang dan perhatian yang melimpah. Saat Leniri beranjak remaja,
ia mengajarinya berbagai ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Tak lupa
pula ia menanamkan budi pekerti kepada putri kesangannya itu. Bahkan,
seringkali ia mengajaknya mencari kayu bakar di hutan dan memancing ikan
di sungai untuk mengenalkan alam secara lebih dekat kepadanya.
Waktu
terus berjalan. Leniri tumbuh menjadi gadis cantik dan berbudi,
penurut, dan rajin membantu ayahnya. Ia juga pandai bergaul dengan
orang-orang yang ada di sekitarnya. Tak heran, jika semua orang sayang
kepadanya. Ia pun menjadi dambaan semua pemuda di kampung itu.
Pada suatu hari, datanglah seorang pemuda tampan yang bernama Simbun hendak melamar Leniri.
“Permisi! Bolehkah saya masuk?” seru Simbun dari depan rumah.
“Silahkan, Anak Muda!” jawab Labih yang sedang duduk bersantai bersama Leniri.
Setelah
anak muda itu duduk, Leniri pun segera masuk ke dapur untuk menyiapkan
minuman. Sementara itu, Labih segera mempersilahkan pemuda yang belum
dikenalnya itu untuk duduk.
“Anak Muda, Engkau ini siapa?” tanya Labih.
“Maaf, apabila kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan. Nama saya Simbun. Saya berasal dari kampung sebelah,” jawab Simbun.
“Ada yang bisa kubantu, Simbun?” Labih kembali bertanya.
“Sebenarnya,
maksud kedatang saya kemari ingin melamar putri Tuan yang bernama
Leniri itu. Jika diperkenankan, saya berjanji akan membahagiakannnya,
Tuan,” ungkap Simbun.
Mengetahui
maksud kedatangan Simbun, Labih terdiam sejenak. Ia ragu untuk
memberikan jawaban, karena putrinya adalah keturunan ikan patin. Ia
tidak ingin asal-usul putrinya yang selama ini dirahasiakannya diketahui
oleh orang banyak. Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, akhirnya
Labih memberi jawaban.
“Baiklah, Simbun! Aku bersedia menikahkanmu dengan Leniri, tapi kamu harus memenuhi satu syarat,” kata kakek itu.
“Apakah syarat itu, Tuan?” tanya Simbun penasaran.
“Begini,
Simbun! Sebenarnya, Leniri itu adalah keturunan ikan patin. Kakek
menemukannya saat Kakek sedang memancing di Sungai dua puluh tahun yang
lalu. Jika kamu berjanji untuk tidak menyakiti hati Leniri dengan
mengungkap asal-usulnya, maka kamu boleh menikahinya,” jawab Labih.
“Baiklah, Kek! Saya berjanji tidak akan menyakiti hati Leniri. Saya akan menyayanginya sepenuh hati,” ucap Simbun.
Akhirnya,
Labih pun menerima lamaran Simbun. Tak berapa lama kemudian, Leniri pun
keluar dari dapur sambil membawa minum untuk ayah dan tamunya. Usai
menyuguhkan minuman, Leniri duduk di samping ayahnya sambil tertunduk
malu-malu.
“Leniri, Anakku! Kenalkan anak muda ini, namanya Simbun. Kedatangannya kemari hendak melamarmu,” kata Labih.
”Iya,
Ayah! Niri sudah mendengarkan semua pembicaraan ayah dengan Simbun.
Niri yakin, semua keputusan Ayah adalah demi kebahagiaan Niri juga,”
jawab Leniri.
Labih
pun mengerti maksud jawaban dari putrinya bahwa ia pun menerima lamaran
itu dan bersedia mengarungi kehidupan rumah tangga bersama Simbun.
Akhirnya, Simbun dan Leniri pun menikah. Mereka hidup rukun dan
berbahagia. Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki
yang tampan dan diberi nama Ari.
Suatu
hari, ketika Simbun akan berangkat bekerja, Leniri memintanya untuk
menunggui Ari yang sedang tertidur di ayunan. Leniri akan pergi ke
sungai untuk mencuci pakaian. Hari itu, cucian Leniri cukup banyak,
sehingga memakan waktu lama untuk mencuci dan menjemurnya. Hari
menjelang siang, Leniri belum juga pulang dari sungai. Simbun pun mulai
kesal menunggu. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul istrinya. Namun,
ketika ia hendak berangkat, tiba-tiba anaknya terbangun dan menangis
keras. Ia pun bertambah kesal dan marah. Tanpa disadarinya, tiba-tiba ia
berucap:
“Dasar! Ibumu memang keturunan ikan! Jika bertemu dengan air, pasti ia tidak mau berhenti!”
Tanpa
sepengetahuannya, Leniri telah kembali dari sungai dan mendengar
ucapannya itu. Leniri pun tidak sanggup menahan air matanya, karena
sedih. Ia tidak pernah menyangka kalau suaminya akan melanggar janji
yang telah diucapkan ketika akan menikahinya.
“Tidak ada lagi gunanya aku tinggal di sini. Suamiku sudah tidak sayang lagi kepadaku,” gumam Leniri.
Usai
bergumam, Leniri masuk ke dalam rumah dan mendekati putranya yang
sedang menangis. Setelah menyusuinya, ia menghampiri suaminya.
“Bang!
Jagalah anak kita baik-baik. Adik harus kembali ke tempat asal Adik di
sungai. Abang telah melanggar janji Abang sendiri,” kata Leniri.
Simbun
tidak bisa berkata apa-apa. Ia merasa bersalah dan sangat menyesal,
karena telah menyakiti hati istrinya. Ketika ia hendak meminta maaf,
Leniri sudah keburu pergi. Ia berusaha mengejarnya hingga ke tepi
sungai, namun Leniri telah menjadi seekor ikan patin.
“Istriku! Kembalilah...!” teriak Simbun dari tepi sungai.
Namun
teriakannya sia-sia. Leniri sudah berenang hingga ke tengah sungai dan
menghilang. Sejak itu, Simbun harus merawat dan membesarkan anaknya
seorang diri.
* * *
Demikian cerita Asal-Usul Ikan Patin
dari daerah Kalimantan Tengah. Cerita di atas termasuk kategori legenda
yang hingga kini masih dipercayai oleh sebagian masyarakat setempat.
Cerita di atas mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman
dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pelajaran yang dapat
dipetik dari cerita di atas yaitu: keutamaan sifat sabar dan akibat yang
ditimbulkan oleh sifat mengikari janji.
Pertama,
keutamaan sifat sabar. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat sabar adalah
hal yang penting dan diutamakan. Orang yang selalu bersabar dalam
menghadapi berbagai masalah, maka kebaikan akan selalu bersamanya. Tuhan
akan memberinya nikmat yang lebih baik dan lebih luas. Hal ini
digambarkan oleh sifat dan perilaku Labih yang senantiasa bersabar dalam
menghadapi segala permasalahan. Berkat kesabarannya tersebut, Tuhan pun
memberinya seorang anak perempuan yang cantik bernama Leniri.
Kedua,
akibat buruk dari sifat ingkar janji. Sifat ini sangat dipantangkan
dalam kehidupan orang-orang Melayu. Orang yang ingkar janji, tidak hanya
menyakiti dan mengecewakan hati orang lain, tetapi juga menyikiti hati
sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya kita lebih berhati-hati dalam
mengucapkan janji agar terhindar dari hal-hal yang dapat menyakiti hati
sendiri dan hati orang lain. Hal ini terlihat dalam cerita di atas
ketika Simbun mengingkari janjinya untuk tidak menyakiti hati Leniri.
Akibatnya, Leniri pun pergi meninggalkannya, karena sakit hati.
Selain
itu, sifat ini juga dipantangkan karena termasuk salah satu ciri orang
munafik. Salah satu petuah amanah tentang sifat munafik ini disebutkan
dalam ungkapan Melayu seperti berikut:
apa tanda orang munafik,
lidah bercabang, akal berbalik
lidah bercabang, akal berbalik
0 komentar:
Posting Komentar