Bajak
laut selintas hanya dikenal orang sebagai karakter dalam dongeng dan
film. Namun jika menelisik sejarah, mereka ada dalam kehidupan nyata
dari zaman ke zaman. Sejarah perompakan alias bajak laut terjadi secara
bersamaan dengan sejarah navigasi. Menurut sejarah kuno, bajak laut
sudah ada sejak abad ke-3, yaitu dengan munculnya bajak laut Yunani Kuno
dan Romawi Kuno. Berbagai istilah mengenai bajak laut pun muncul, mulai
dari nama The Viking, The Sea People dan The Saxon.
Bajak laut lahir karena tekanan dan
kondisi yang memaksa mereka berbuat seperti itu. Mereka memilih hidup
bebas tanpa aturan hukum dan merampas hak orang lain. Sadisnya, para
bajak laut tidak segan membunuh, menyiksa bahkan membantai seluruh awak
kapal, sebelum merampas seluruh harta korban. Para bajak laut
menjalankan aksinya berdasarkan koloni dan wilayah jalur pelayaran yang
mereka kuasai. Tak heran jika banyak istilah dalam hirarki para
perompak.
Bajak Laut di Karibia
Sejarah perompakan di wilayah Karabia
terjadi seiring dengan perkembangan ekonomi dan kehidupan sosial pada
masa itu. Episode bajak laut di sana berhubungan dengan sejarah
keberadaan kerajaan Spanyol dan penemuan dunia baru, Amerika.
Pemicu lahirnya bajak laut di wilayah
tersebut terkait keputusan Paus Alejandro VI pada 1493, yang memberi hak
khusus bagi Spanyol dan Portugis atas kepemilikan tanah asing yang
mereka temukan. Prancis memprotes keputusan tersebut.
Sementara kerajaan Inggris belum
mempunyai angkatan laut. Mereka tidak bisa ikut campur dalam masalah
ini.Prancis dan Inggris terdampar di luar garis kekayaan Amerika, dan
Spanyol. Situasi semakin buruk dengan ditutupnya perdagangan dunia
terhadap orang-orang asing. Semua kapal asing yang berlayar di lautan
dunia baru dianggap bajak laut.
Reaksi pertama muncul dari Prancis.
Karena kekurangan angkatan laut, mereka memprovokasi pelaut-pelaut
swasta untuk membajak. Sekitar 1537 masehi Karibia mulai dipenuhi para
bajak laut Prancis.
Setelah itu Inggris mulai memperhatikan
atensinya terhadap Amerika. Mereka ikut bermimpi mendapat rampasan
harta karun. Untuk pertama kalinya munculah bajak laut Inggris di
Karibia, di bawah perlindungan Ratu Elizabeth. Kebanyakan dari mereka
adalah bangsawan. Jika bukan, ratu memberikan keleluasaan pada mereka
untuk masuk kebangsawanan.
Bajak Laut Asia Timur
Wokou atau Bajak laut Jepang adalah
bajak laut yang merampok pesisir of Tiongkok dan Korea, Asia Timur.
Wokou umumnya terdiri dari perompak, serdadu, ronin, pedagang dan
penyelundup berkebangsaan Jepang. Tahap awal aktivitas Wokou dimulai
pada abad ke-13 dan berlanjut sampai paruh kedua abad ke-14. Bajak laut
Jepang memusatkan perhatian di Semenanjung Korea dan menyebar
melintasi Laut Kuning ke Tiongkok.
Pada saat itu Dinasti Ming berusaha
melarang perdagangan sipil dengan Jepang, meski masih mempertahankan
perdagangan antar pemerintah. Embargo ini tidak berhasil, para
saudagar Tiongkok lebih memilih melindungi kepentingan mereka. Bahkan,
mereka melawan perintah kekaisaran Dinasti Ming dan berdagang dengan
Jepang secara illegal. Sebaliknya, perdagangan antar pemerintah tidak
mencukupi keperluan dan membuat banyak pengrajin bangkrut. Ini memicu
tahap kedua aktivitas para Wokou.
Tahap kedua Wokou berlangsung dari
awal sampai pertengahan abad keenam belas. Pada masa itu komposisi dan
kepemimpinan para Wokou bergeser sepenuhnya ke Tiongkok. Di puncak
keemasannya pada dasawarsa 1550-an, Wokou beroperasi di lautan Asia
Timur. Bahkan berlayar hingga ke sungai-sungai besar, seperti Sungai
Yangtze.
Istilah Bajak Laut
Dilihat dari sisi bahasa, bajak laut (pirate)
adalah para perampok laut yang bertindak di luar hukum. Kata pirate
berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘yang menyerang’, ‘yang
merampok’. Dalam bahasa Indonesia dan Melayu sebutan lain untuk bajak
laut, lanun, berasal dari nama lain salah satu suku maritim di Indonesia
dan Malaysia, Orang Laut.
Tujuan mereka tidak bersifat politik,
mereka mencari keuntungan sendiri dan tidak melayani siapapun kecuali di
bawah bendera Jolly Roger (bendera bajak laut). Banyak dari corsario (corsair) berubah profesi menjadi bajak laut selama periode perdamaian antara Spanyol dan Inggris.
Target utama penyerangan bajak laut
adalah sebagian besar kapal-kapal dan juga daerah-daerah kolonial yang
berada di bawah kekuasaan Spanyol atau Portugis. Ini adalah suatu hal
yang logis karena kedua kerajaan itulah yang memonopoli perdagangan
antara Eropa dan Dunia Baru.Kapal-kapal yang mengangkut emas dan perak
dari Amerika merupakan sasaran empuk para bajak laut. Namun demikian,
tak satupun bendera yang selamat dari kekejaman mereka.
Raja-raja Eropa mencoba berjuang
melawan para pembajak dengan memasok senjata dan peralatan yang cukup
untuk kapal-kapalnya. Ironisnya, tak satu pun armada yang siap melawan
pembajak.
Kapal corsario (corsair)
adalah kapal yang berlaut atas perintah dari seorang raja dan
melakukan aksi-aksi perang melawan kepentingan kerajaan musuh (biasanya
mencoba untuk melemahkan kekuasaan komersial dan kolonial). Para
corsair ini dalam kekuasannya memiliki dokumen-dokumen yang memberikan
kuasa kepada kapal yang dikendalikan untuk berbuat aksi-aksi perang.
Dokumen tersebut dinamakan Letter of Marque atau Patente de Corso.
Batasan-batasan yang digariskan pada dokumen tersebut sangat kabur
(tidak jelas) dan biasanya kapten-kapten corsario dan tripulasi-nya
itulah yang memutuskan apa yang bisa mereka perbuat dan apa yang
dilarang.
Kekuasaan corsario dianugerahkan oleh
seorang raja, walaupun praktiknya raja mendelegasikan kepada seorang
gubernur. Pada periode peperangan, delegasi corsario sering dipakai
dalam ekspedisi-ekspedisi untuk melawan kepentingan musuh. Ketika ini
terjadi, kapten-kapten tersebut dan tripulasinya diwajibkan
menyerahkan semua rampasan harta kepada kerajaan hanya sebagian kecil
(yang mungkin bisa seperlima atau lebih).
Saat kapal-kapal corsair tidak menjadi
bagian misi kerajaan, mereka biasanya menyerang kapal apa saja selama
tidak berbendera sama dengan kerajaan dari mana mereka berasal. Mereka
beraksi layaknya bajak laut, namun masih menyimpan hak-hak berlaut yang
bersifat corso (dilindungi oleh satu kerajaan). Harta rampasan yang
diperoleh dengan cara ini adalah untuk mereka, walaupun diwajibkan
menyerahkan satu bagian untuk pemerintah koloni dari mana mereka
berasal.
Kapal-kapal corsair bisa dianggap
sebagai pelabuhan aman bagi mereka yang berasal dari negara/kerajaan
yang sama, dan mereka mendapatkan perlindungan. Para corsair tak dapat
dihukum gantung karena alasan pembajakan. Mereka memiliki “izin”
(kuasa hukum corso) yang dikeluarkan kerajaan. Namun, pada
kenyataannya seorang corsair yang dikejar musuh, tidak dapat
mempercayai hal ini, karena ada kebiasaan menghukum gantung corsair
musuh.
Bucanero mulai dikenal di sebagian koloni Prancis (sekarang Haití). Nama bucaneros (buccaneers),
berasal dari kata Indian, bucan, yang merujuk pada tempat di mana
daging diasapkan, dengan cara membakar kayu hijau di bawah beberapa
tongkat dengan bentuk panggangan, kini bernama barbeque.
Di bagian pulau yang tidak berpenghuni
(bagian timur dihuni oleh orang Spanyol) terjadi reproduksi secara luar
biasa hewan banteng dan sapi. Para bucanero bekerja memburu hewan untuk
dijual kulit dan daging asapnya kepada kapal-kapal yang menghargai rasa
dan ketahanan daging buatan mereka.
Bucanero hidup di alam bebas. Tak ada
seorangpun pun yang memerintah atau menguasai mereka. Kondisi ini
mengundang orang yang diusir, buronan, budak, Indian pemberontak, dan
orang-orang yang dikejar atas nama agama. Jumlah bucanero terus
bertambah. Pada 1620 mereka mulai dikejar orang-orang Spanyol. Karena
itu, mereka memutuskan menjadi perompak dan mendirikan pangkalan operasi
di pulau Tortuga, dekat dengan koloni Spanyol. Pengakuan keberadaan
mereka oleh Le Vasseur sebagai pemerintah pulau berangkat dari
kepentingan riil membawa Bucanero berasosiasi dalam “Hermandad de la
Costa” atau “persaudaraan daratan pantai” yang memunculkan asal filibusteros.
Karena di pulau Tortuga tidak terdapat
buruan, para bucanero berhadapan dengan sebuah dilema untuk terus hidup.
Mereka berburu di teritori Spanyol mendedikasikan diri pada pembajakan.
Mereka yang menujuk pilihan terakhir dinamakan filibusteros (freebooter). Kata filibusteros berasal dari bahasa Belanda Vrij Buiter (”yang merampas harta” atau dalam bahasa Inggris, freebooter).
Setelah mendapat pelajaran keras diusir dari koloni Spanyol, para freebooter
mengerti perlu bersatu jika mereka ingin melawan akan adanya
kemungkinan risiko. Kebiasaan hidup dengan kemerdekaan yang penuh,
membuat mereka tidak mengizinkan diperintah oleh hukum, norma dan
orang-orang di atas mereka. Maka lahirlah perkumpulan persaudaraan. Para
filibusteros ini menyerang kapal apa saja, dari kerajaan manapun, walaupun kapal-kapal Spanyollah yang sering menjadi korban mereka.
Mereka seringkali menggunakan kapal
kecil, dan dimodali orang-orang dari Eropa dengan kepentingan melemahkan
perdagangan musuh. Mereka seringkali menggagalkan perdagangan antar
koloni. Mereka berani dengan senjata minim dan tripulasi yang sedikit.
Mereka menyerang galeon-galeon kapal besar yang dipersenjatai secara
luar biasa, mengangkut emas.
Engagé adalah kata Prancis yang artinya ‘yang terlibat’, ‘yang berkomitmen’, atau ‘yang siap bekerja’. Seorang engagé
artinya adalah seseorang bebas yang menandatangani kontrak selama tiga
tahun. Di mana dia diwajibkan bekerja sebagai pembantu untuk orang
ketiga, dengan kondisi yang sama halnya dengan perbudakan.
Selat Malaka Masih Rawan Bajak Laut
Perompakan
di perairan Asia Tenggara sudah lama ada. Sejak abad ke-19 Selat Malaka
telah menjadi jalur laut penting bagi kapal-kapal yang berlayar dari
India dan Tiongkok. Di jalur Selat Malaka, wilayah Indonesia yang
dipenuhi ribuan pulau, selat-selat sempit, dan muara sungai, menjadi
tempat persembunyian sempurna perompak. Fakta geografi ini, beserta
dengan faktor-faktor lain, mempermudah perompakan.
Perompak tradisional di Asia Tenggara
dikenal dengan nama Orang Laut, atau juga disebut Lanun. Mereka bermukim
di perkampungan pesisir negara Malaysia, Indonesia, dan Filipina
modern. Kemudian bajak laut Tionghoa muncul. Mereka adalah orang-orang
terbuang dari masyarakat Tiongkok masa dinasti Ching. Mereka memangsa
kapal-kapal yang berdagang di Laut China Selatan, menggunakan Kapal
Jung.
Di wilayah ini perompakan dapat dilihat
sebagai bentuk peperangan penduduk asli melawan pengaruh Eropa, yang
merusak tatanan tradisional masyarakat pedagang di Asia Tenggara.
Selat Malaka hingga saat ini masih
rawan perompakan. Namun penindakan terhadap para perompak sering kali
mengalami kesulitan saat korban, terutama pemilik kapal tak mau
melaporkan kejadian perompakan yang biasanya menggunakan modus
menyandera nakhoda atau kepala kamar mesin. Statistik dari Biro Maritim
Internasional, IMB, menunjukkan pada 2007 terjadi peningkatan serangan
bajak laut sampai 10 persen.
Selat Malaka yang sempit, antara
Indonesia dan Malaysia, merupakan jalur pelayaran dunia yang penting dan
terkenal dengan aksi para bajak laut. Ratusan kapal, umumnya berupa
tanker minyak dan kapal barang, melintasi Selat Malaka setiap harinya.
Dan selama berabad-abad, selat ini menjadi satu-satunya pintu gerbang
utama untuk pelayaran menuju ke kawasan Timur.
Selama periode Mei-Juni 2008, Pangkalan
Utama TNI Angkatan Laut I Belawan, mendata telah terjadi empat kali
perompakan terhadap kapal-kapal nelayan. Salah satu kasus perompakan
yang terjadi tanggal 30 Juni lalu terhadap KM Champion X berlangsung
tragis. Kelompok bersenjata yang melakukan aksi perompakan tersebut
membiarkan awak kapal terapung di laut sementara kapalnya dibakar.
Hingga kini nasib nakhoda dan kepala kamar mesin KM Champion X malah tak
diketahui nasibnya setelah menjadi sandera perompak.
“Sebenarnya kami sudah mencoba
melakukan sosialisasi kepada nelayan maupun pemilik kapal soal
penggunaan frekuensi radio khusus. Frekuensi ini bisa dimanfaatkan
nakhoda jika terjadi perompakan di tengah laut. Kami kan punya Kamla
(Keamanan Laut) di beberapa titik yang bisa sewaktu-waktu melakukan
pengejaran terhadap perompak. Sayangnya, frekuensi ini jarang sekali
digunakan untuk melaporkan aksi kejahatan di laut,” ujar Siahaan.
Siahaan mengatakan, banyak kapal
nelayan enggan membuka frekuensi radio ketika di laut. Dia mengaku tak
tahu mengapa nakhoda kapal enggan membuka frekuensi radionya. Padahal
saat terjadi perompakan, perompak cenderung melakukan perampasan
terhadap alat komunikasi terlebih dulu.
Bahkan kata Siahaan, ketika perompak
meminta tebusan atas penyanderaan nakhoda dan juru mesin, mereka
sebenarnya menggunakan komunikasi lewat radio kepada pemilik kapal.
“Kalau memang mereka tak mau komunikasinya didengar, mereka sebenarnya
bisa mengunci sendiri frekuensi radio komunikasinya,” kata Siahaan.
Salah seorang nelayan di Belawan
menuturkan, keengganan mereka melaporkan perompakan di laut, lebih
karena nelayan merasa pesimis terhadap tindakan yang bisa dilakukan
aparat keamanan. Menurutnya, selama ini jarang sekali pelaku perompakan
bisa tertangkap. Perompak di Selat Malaka, selain sering menggunakan
kapal yang mirip kapal nelayan, mereka juga dilengkapi senjata otomatis.
0 komentar:
Posting Komentar